Mengapa Afghanistan Tidak Sama dengan Suriah di Mata Rusia?
Indonesian Free Press -- Sejumlah media massa barat, Arab dan negara-negara pendukung pemberontakan di Suriah secara hampir bersamaan menulis laporan tentang prospek konflik Suriah yang bakal menjadi 'medan kekalahan' bagi Rusia seperti mereka alami di Afghanistan.
Al Jazeera yang berbasis di Qatar, misalnya, memposting artikel berjudul 'Could Syria Be Putins's Afghanistan?'. Sementara media Israel Ynet News menulis artikel berjudul 'Russian Army in Syria: A Failure Foretold'.
Sebenarnya tulisan-tulisan seperti itu hanya untuk memperkuat moral para pendukung pemberontakan di Suriah yang runtuh dengan cepat setelah Rusia melibatkan diri dengan menyerang posisi-posisi pemberontak. Terlebih lagi karena Rusia tidak membedakan antara kelompok pemberontak 'moderat' yang terang-terangan didukung Amerika dan sekutu-sekutunya, maupun kelompok teroris ISIS yang secara diam-diam didukung oleh Amerika dan sekutu-sekutunya.
Berbeda dengan serangan udara yang selama ini dilakukan oleh pasukan regim Bashar al Assad, serangan-seranga udara Rusia tentu saja jauh lebih efektif, efisien dan destruktif. Sejumlah laporan menyebutkan ratusan bahkan ribuan pemberontak telah meninggalkan posisinya yang hancur diserang Rusia. Sebagian dari mereka kembali ke negara asalnya (silakan lihat di sini), sementara mereka yang warga Suriah menyerahkan.
Inilah yang mengakibatkan para pemimpin Amerika dan sekutu-sekutunya, dan disuarakan oleh media-media massa mereka, berusaha sekuat tenaga untuk meningkatkan moral para pemberontak yang runtuh, dengan tulisan-tulisan semacam yang ditulis Al Jazeera dan Ynet News. Terlalu besar biaya yang sudah mereka keluarkan dalam proyek zionisme untuk menyingkirkan Bashar al Assad sebagai presiden Suriah. Mereka tentu akan melakukan apapun agar pengorbanan tersebut tidak sia-sia.
Bagi Rusia kondisi perang Afghanistan, dimana mereka kalah dari para mujahidin tahun 1989, tidak sama dengan kondisi di Suriah saat ini. Setidaknya ada tiga faktor utama yang membedakan kedua medan perang tersebut. Pertama, di Afghanistan Rusia adalah agresor sedangkan di Suriah Rusia justru menjadi penolong regim yang tengah mendapat serangan kekuatan asing. Kedua, di Afghanistan Rusia berperang sendirian menghadapi mujahidin yang didukung Amerika dan sekutu-sekutunya. Sementara di Suriah Rusia didukung oleh tetangga-tetangga Suriah yaitu Iran, Irak, Lebanon, dan bahkan (dalam tataran politik) Mesir.
Adapun faktor ketiga adalah bahwa Rusia telah berpengalaman menghadapi bahkan mengalahkan kelompok-kelompok militan wahabi sebagaimana mereka hadapi di Suriah. Seperti kita ketahui Rusia berhasil mengalahkan kelompok-kelompok ekstremis wahabi yang memberontak di Chechnya pada tahun 1998-1999, dan sebagian pemberontak Suriah saat ini adalah mereka yang pernah dikalahkan Rusia di Chechnya.
Ketiga faktor tersebut di atas telah memberikan kepercayaan diri yang sangat kuat bagi Rusia untuk menggempur para pemberontak Suriah. Sedemikian besar kepercayaan diri itu sehingga Presiden Putin tidak ragu-ragu untuk mengambil keputusan melibatkan diri militer Rusia setelah melihat posisi Bashar al Assad terancam dengan rencana Amerika dan Turki untuk menerapkan zona larangan terbang. Bahkan seorang perwira tinggi Rusia bisa dengan percaya diri mendatangi Kedubes Amerika di Irak dan memberikan ultimatum kepada para pejabat Amerika untuk menyingkirkan asset-assetnya di Suriah, hanya beberapa jam sebelum serangan udara Rusia dimulai.
Selain itu, di medan perang Suriah ini Rusia juga tidak perlu mengerahkan pasukan darat untuk menghancurkan kekuatan pemberonak, yang selain mahal biayanya juga menanggung resiko kerugian moril yang besar. Untuk urusan ini Rusia bisa mengandalkan Iran, Irak dan Hizbollah, selain tentu saja tentara Suriah yang telah menunjukkan mental yang luar biasa kuat, setelah 4 tahun lebih mampu bertahan menghadapi kekuatan besar pemberontak dukungan Amerika dan sekutu-sekutunya.
Tidak heran jika kepercayaan diri kini menghinggapi Presiden Suriah Bashar al Assad. Dalam wawancara dengan kantor berita Iran IRIB, hari Minggu lalu (4 Oktober), ia mengatakan, "Kami hampir bisa memastikan bahwa koalisi ini akan berhasil."
Assad merujuk pada pembentukan markas komando operasi gabungan Rusia-Iran-Suriah dan Irak di Baghdad baru-baru ini serta kesungguhan Iran dan Irak serta Hizbollah Lebanon yang telah mengirimkan pasukan darat ke Suriah untuk mendukung operasi darat pasukan Suriah.
Seiring dengan serangan udara yang gencar dilakukan Rusia dan Suriah, pasukan darat gabungan Suriah, Lebanon (Hizbollah), Iran dan Irak kini mulai melancarkan offensif ke posisi-posisi strategis yang dikuasai pemberontak, yang telah melemah akibat serangan-serangan udara Rusia.
Sebenarnya terdapat satu lagi faktor yang tidak berhubungan langsung dengan aspek teknis namun juga sangat penting dan menjadi pertimbangan Rusia sebelum menerjunkan diri dalam konflik Suriah, yaitu faktor kultural-historis. Orang-orang Kristen Orthodok Rusia yang merupakan agama mayoritas di negara itu memiliki hubungan kultural-historis yang sangat kuat dengan orang-orang Kristen Suriah. Dalam tingkat tertentu mereka adalah sama-sama penganut ajaran Arianus yang tidak mengakui 'trinitas', bertolak belakang dengan keyakinan Gereja Romawi yang meyakini 'trinitas'.
Pada tahun 1030 tentara Rusia terlibat dalam pertempuran di Aleppo untuk membantu Kerajaan Byzantium mempertahankan kota itu dari serangan orang-orang Arab Islam. Setahun kemudian mereka bersama-sama merebut kota Edessa. Jadi apa yang terjadi sekarang di Suriah hanyalah pengulangan sejarah yang tentunya disadari betul oleh Presiden Rusia Vladimir Putin dan para pemimpin Rusia lainnya.(ca)
Al Jazeera yang berbasis di Qatar, misalnya, memposting artikel berjudul 'Could Syria Be Putins's Afghanistan?'. Sementara media Israel Ynet News menulis artikel berjudul 'Russian Army in Syria: A Failure Foretold'.
Sebenarnya tulisan-tulisan seperti itu hanya untuk memperkuat moral para pendukung pemberontakan di Suriah yang runtuh dengan cepat setelah Rusia melibatkan diri dengan menyerang posisi-posisi pemberontak. Terlebih lagi karena Rusia tidak membedakan antara kelompok pemberontak 'moderat' yang terang-terangan didukung Amerika dan sekutu-sekutunya, maupun kelompok teroris ISIS yang secara diam-diam didukung oleh Amerika dan sekutu-sekutunya.
Berbeda dengan serangan udara yang selama ini dilakukan oleh pasukan regim Bashar al Assad, serangan-seranga udara Rusia tentu saja jauh lebih efektif, efisien dan destruktif. Sejumlah laporan menyebutkan ratusan bahkan ribuan pemberontak telah meninggalkan posisinya yang hancur diserang Rusia. Sebagian dari mereka kembali ke negara asalnya (silakan lihat di sini), sementara mereka yang warga Suriah menyerahkan.
Inilah yang mengakibatkan para pemimpin Amerika dan sekutu-sekutunya, dan disuarakan oleh media-media massa mereka, berusaha sekuat tenaga untuk meningkatkan moral para pemberontak yang runtuh, dengan tulisan-tulisan semacam yang ditulis Al Jazeera dan Ynet News. Terlalu besar biaya yang sudah mereka keluarkan dalam proyek zionisme untuk menyingkirkan Bashar al Assad sebagai presiden Suriah. Mereka tentu akan melakukan apapun agar pengorbanan tersebut tidak sia-sia.
Bagi Rusia kondisi perang Afghanistan, dimana mereka kalah dari para mujahidin tahun 1989, tidak sama dengan kondisi di Suriah saat ini. Setidaknya ada tiga faktor utama yang membedakan kedua medan perang tersebut. Pertama, di Afghanistan Rusia adalah agresor sedangkan di Suriah Rusia justru menjadi penolong regim yang tengah mendapat serangan kekuatan asing. Kedua, di Afghanistan Rusia berperang sendirian menghadapi mujahidin yang didukung Amerika dan sekutu-sekutunya. Sementara di Suriah Rusia didukung oleh tetangga-tetangga Suriah yaitu Iran, Irak, Lebanon, dan bahkan (dalam tataran politik) Mesir.
Adapun faktor ketiga adalah bahwa Rusia telah berpengalaman menghadapi bahkan mengalahkan kelompok-kelompok militan wahabi sebagaimana mereka hadapi di Suriah. Seperti kita ketahui Rusia berhasil mengalahkan kelompok-kelompok ekstremis wahabi yang memberontak di Chechnya pada tahun 1998-1999, dan sebagian pemberontak Suriah saat ini adalah mereka yang pernah dikalahkan Rusia di Chechnya.
Ketiga faktor tersebut di atas telah memberikan kepercayaan diri yang sangat kuat bagi Rusia untuk menggempur para pemberontak Suriah. Sedemikian besar kepercayaan diri itu sehingga Presiden Putin tidak ragu-ragu untuk mengambil keputusan melibatkan diri militer Rusia setelah melihat posisi Bashar al Assad terancam dengan rencana Amerika dan Turki untuk menerapkan zona larangan terbang. Bahkan seorang perwira tinggi Rusia bisa dengan percaya diri mendatangi Kedubes Amerika di Irak dan memberikan ultimatum kepada para pejabat Amerika untuk menyingkirkan asset-assetnya di Suriah, hanya beberapa jam sebelum serangan udara Rusia dimulai.
Selain itu, di medan perang Suriah ini Rusia juga tidak perlu mengerahkan pasukan darat untuk menghancurkan kekuatan pemberonak, yang selain mahal biayanya juga menanggung resiko kerugian moril yang besar. Untuk urusan ini Rusia bisa mengandalkan Iran, Irak dan Hizbollah, selain tentu saja tentara Suriah yang telah menunjukkan mental yang luar biasa kuat, setelah 4 tahun lebih mampu bertahan menghadapi kekuatan besar pemberontak dukungan Amerika dan sekutu-sekutunya.
Tidak heran jika kepercayaan diri kini menghinggapi Presiden Suriah Bashar al Assad. Dalam wawancara dengan kantor berita Iran IRIB, hari Minggu lalu (4 Oktober), ia mengatakan, "Kami hampir bisa memastikan bahwa koalisi ini akan berhasil."
Assad merujuk pada pembentukan markas komando operasi gabungan Rusia-Iran-Suriah dan Irak di Baghdad baru-baru ini serta kesungguhan Iran dan Irak serta Hizbollah Lebanon yang telah mengirimkan pasukan darat ke Suriah untuk mendukung operasi darat pasukan Suriah.
Seiring dengan serangan udara yang gencar dilakukan Rusia dan Suriah, pasukan darat gabungan Suriah, Lebanon (Hizbollah), Iran dan Irak kini mulai melancarkan offensif ke posisi-posisi strategis yang dikuasai pemberontak, yang telah melemah akibat serangan-serangan udara Rusia.
Sebenarnya terdapat satu lagi faktor yang tidak berhubungan langsung dengan aspek teknis namun juga sangat penting dan menjadi pertimbangan Rusia sebelum menerjunkan diri dalam konflik Suriah, yaitu faktor kultural-historis. Orang-orang Kristen Orthodok Rusia yang merupakan agama mayoritas di negara itu memiliki hubungan kultural-historis yang sangat kuat dengan orang-orang Kristen Suriah. Dalam tingkat tertentu mereka adalah sama-sama penganut ajaran Arianus yang tidak mengakui 'trinitas', bertolak belakang dengan keyakinan Gereja Romawi yang meyakini 'trinitas'.
Pada tahun 1030 tentara Rusia terlibat dalam pertempuran di Aleppo untuk membantu Kerajaan Byzantium mempertahankan kota itu dari serangan orang-orang Arab Islam. Setahun kemudian mereka bersama-sama merebut kota Edessa. Jadi apa yang terjadi sekarang di Suriah hanyalah pengulangan sejarah yang tentunya disadari betul oleh Presiden Rusia Vladimir Putin dan para pemimpin Rusia lainnya.(ca)
Mengapa Afghanistan Tidak Sama dengan Suriah di Mata Rusia?
Reviewed by mm
on
20:46:00
Rating: