TRAGEDI MINA AKIBAT PERSAINGAN KEKUASAAN KELUARGA KERAJAAN SAUDI?
Indonesian Free Press -- Sebuah analisa menarik dirilis oleh kantor berita Perancis Agence France Presse (AFP), hari Jumat lalu (30 Oktober). Menurut laporan itu, saudi tengah mengalami krisis kekuasaan yang serius. Selain merosotnya harga minyak dunia yang mengakibatkan merosotnya pendapatan negara serta Perang Yaman yang tidak memberikan hasil yang diharapkan, juga karena terjadinya persaingan kekuasaan yang serius antara Putra Mahkota Mohammed bin Nayef dan Deputi Putra Mahkota Mohammad bin Salman.
"Intervensi militer di Yaman, merosotnya harga minyak dan meningkatkan ekstremisme telah menempatkan kepemimpinan negara itu dalam bahaya, sembilan bulan setelah Raja Salman menduduki singgasana setelah meninggalnya Raja Abdullah," tulis Agence France Presse dalam laporannya.
Selain itu tentu saja masih ada sejumlah masalah serius lainnya yang dihadapi Saudi Arabia. Misalnya saja penangkapan seorang pangeran Saudi di Lebanon karena penyelundupan obat-obatan, yang mencoreng kehormatan Saudi di mata negara sekutunya itu. Atau konperensi internasional untuk Suriah yang menjadi kekalahan telak bagi Saudi setelah gagal menjegal Iran dalam konperensi itu sekaligus gagal mengagendakan pemakzulan Presiden Suriah Bashar al Assad.
Namun dari semua masalah itu, persaingan kekuasaan antar anggota keluarga kerajaan Saudi merupakan masalah yang paling serius, bahkan bisa menjadi ancaman bagi kelangsungan regim kerajaan Saudi.
Menurut laporan itu persaingan kini tengah memanas antara dua calon pewaris kekuasaan kerajaan Saudi, yaitu Putra Mahkota Mohammed bin Nayef dan Deputi Putra Mahkota Mohammad bin Salman. Mohammed bin Nayef, (56 tahun) adalah keponakan Raja Salman, sedangkan Mohammed bin Salman (30 tahun) adalah putra kandung Raja Salman.
"Mohammed bin Nayef adalah Menteri Dalam Negeri dan Mohammad bin Salman memimpin Departemen Pertahanan, dan persiangan antara mereka berdua semakin nyata terlihat, mengakibatkan terganggungnya sejumlah kebijakan di dalam maupun luar negeri," tulis laporan tersebut, mengutip keterangan sejumlah pengamat politik.
Menurut Frederic Wehrey dari lembaga kajian 'Middle East Programme at the Carnegie Endowment for International Peace' yang berbasis di Washington, salah satu wujud persaingan itu adalah invasi Saudi Arabia terhadap Yaman yang oleh pengamat dan pengambil kebijakan barat dianggap sebagai langkah mundur reformasi di Saudi.
Ketegangan antara kedua calon pewaris tahta itu muncul pertama kali sekitar enam bulan lalu ketika Raja memecat Deputi Putra Mahkota Pangeran Muqrin, yang sebelumnya diangkat oleh Raja Abdullah. Setelah itu Mohammad bin Salman mulai muncul dalam arena kekuasaan menggantikan Muqrin.
�Banyak orang yang melihat hal ini sebagai sebuah kudeta.... bahwa satu pihak mengambil alih kekuasaan untuk diri sendiri," kata Stephane Lacroix, pakar politik Arab Saudi di Sciences Po University Paris.
Setelah menduduki jabatan baru sebagai Deputi Putra Mahkota, Mohammad bin Salman segera menduduki jabatan-jabatan strategis lainnya, yaitu Menteri Pertahanan dan ketua 'Dewan Ekonomi' yang mengendalikan perusahaan minyak terbesar di dunia, Aramco.
�Mohammed bin Salman sangat jelas meraih kekuasaan yang sangat besar dengan sangat cepat, dan hal ini membuat rival-rivalnya khawatir," tulis laporan itu lagi, mengutip keterangan pakar politik lainnya.
Menurut Lacroix Pangeran Mohammad bin Salman tengah mempersiapkan diri untuk pertarungan memperebutkan kekuasaan pada saat ayahnya, Raja Salman, meninggal dunia.
"Ia tidak ingin nasibnya menjadi tidak jelas jika Mohammed bin Nayef, naik sebagai raja," tulis laporan itu lagi, kali ini mengutip keterangan seorang diplomat.
Menurut Lacroix tingkah laku Mohammed bin Salman, sudah seperti dirinya yang menjadi raja sehingga hal itu menimbulkan ketegangan di kalangan keluarga kerajaan.
Para diplomat dan pengamat politik melihat langkah pemecatan terhadap Saad al-Jabri sebagai menteri negara bulan September lalu merupakan bentuk persaingan yang tajam antara Salman dan Nayef, mengingat al-Jabri merupakan 'orang dekat' Mohammed bin Nayef. Namun untuk mendongkel Nayef dari posisinya juga tidak mudah. Selain masih mengendalikan pasukan Kementrian Dalam Negeri, ia juga cukup dihormati di dunia internasional daripada Mohammad bin Salman, karena keberhasilannya menangani masalah ekstremisme dan terorisme.
"Saya rasa mereka akan 'menembak kaki sendiri' jika mendongkel Mohammed bin Nayef. Ia sangat dihormati, yang dipercaya di kalangan negara-negara barat dalam hal konter-terorisme,� tambah Lacroix, seraya menambahkan bahwa Nayef juga didukung oleh sebagian besar keluarga kerajaan.
Laporan itu secara tersirat menuduh Mohammad bin Salman bertanggungjawab atas Tragedi Mina tanggal 24 September lalu yang menewaskan sekitar 2.000 jemaah haji. Mengingat bahwa penanggungjawab keamanan adalah Pasukan Departemen Dalam Negeri yang berada di bawah kekuasaan Nayef, tragedi itu bisa menjadi 'kartu mati' bagi Nayef.
"Jika sebuah faksi yang kuat telah siap untuk menjungkalkan Putra Mahkota (Nayef), yang pasukannya bertanggungjawab atas keamanan Haji, desak-desakan (Tragedi Mina) itu menjadi kesempatan. Mereka bisa menjadikannya kambing hitam jika ingin menjungkalkannya," tulis laporan itu lagi.
Namun, Mohammad bin Salman juga mempunyai 'kartu mati' lainnya, yaitu Perang Yaman yang dianggap menjadi 'kuburan' bagi Saudi Arabia.
"Bisa dikatakan bahwa perang ini (Yaman) dirancang untuk menaikkan citra Menteri Pertahanan. Namun perang ini, yang biayanya tidak pernah dibuka secara transparan, mengakibatkan pemerintah mengurangi belanjanya, menggerogoti tabungan negara dan memaksa pemerintah mengeluarkan surat hutang untuk membiayai defisit anggaran setelah harga-harga minyak anjolik lebih dari separo sejak awal tahun," kata Lacroix.
Sampai saat ini kondisi masih bisa dikendalikan. Namun dalam jangka panjang dipastikan hal ini tidak bisa lagi dibiarkan, dan akan ada yang harus dikorbankan.(ca)
"Intervensi militer di Yaman, merosotnya harga minyak dan meningkatkan ekstremisme telah menempatkan kepemimpinan negara itu dalam bahaya, sembilan bulan setelah Raja Salman menduduki singgasana setelah meninggalnya Raja Abdullah," tulis Agence France Presse dalam laporannya.
Selain itu tentu saja masih ada sejumlah masalah serius lainnya yang dihadapi Saudi Arabia. Misalnya saja penangkapan seorang pangeran Saudi di Lebanon karena penyelundupan obat-obatan, yang mencoreng kehormatan Saudi di mata negara sekutunya itu. Atau konperensi internasional untuk Suriah yang menjadi kekalahan telak bagi Saudi setelah gagal menjegal Iran dalam konperensi itu sekaligus gagal mengagendakan pemakzulan Presiden Suriah Bashar al Assad.
Namun dari semua masalah itu, persaingan kekuasaan antar anggota keluarga kerajaan Saudi merupakan masalah yang paling serius, bahkan bisa menjadi ancaman bagi kelangsungan regim kerajaan Saudi.
Menurut laporan itu persaingan kini tengah memanas antara dua calon pewaris kekuasaan kerajaan Saudi, yaitu Putra Mahkota Mohammed bin Nayef dan Deputi Putra Mahkota Mohammad bin Salman. Mohammed bin Nayef, (56 tahun) adalah keponakan Raja Salman, sedangkan Mohammed bin Salman (30 tahun) adalah putra kandung Raja Salman.
"Mohammed bin Nayef adalah Menteri Dalam Negeri dan Mohammad bin Salman memimpin Departemen Pertahanan, dan persiangan antara mereka berdua semakin nyata terlihat, mengakibatkan terganggungnya sejumlah kebijakan di dalam maupun luar negeri," tulis laporan tersebut, mengutip keterangan sejumlah pengamat politik.
Menurut Frederic Wehrey dari lembaga kajian 'Middle East Programme at the Carnegie Endowment for International Peace' yang berbasis di Washington, salah satu wujud persaingan itu adalah invasi Saudi Arabia terhadap Yaman yang oleh pengamat dan pengambil kebijakan barat dianggap sebagai langkah mundur reformasi di Saudi.
Ketegangan antara kedua calon pewaris tahta itu muncul pertama kali sekitar enam bulan lalu ketika Raja memecat Deputi Putra Mahkota Pangeran Muqrin, yang sebelumnya diangkat oleh Raja Abdullah. Setelah itu Mohammad bin Salman mulai muncul dalam arena kekuasaan menggantikan Muqrin.
�Banyak orang yang melihat hal ini sebagai sebuah kudeta.... bahwa satu pihak mengambil alih kekuasaan untuk diri sendiri," kata Stephane Lacroix, pakar politik Arab Saudi di Sciences Po University Paris.
Setelah menduduki jabatan baru sebagai Deputi Putra Mahkota, Mohammad bin Salman segera menduduki jabatan-jabatan strategis lainnya, yaitu Menteri Pertahanan dan ketua 'Dewan Ekonomi' yang mengendalikan perusahaan minyak terbesar di dunia, Aramco.
�Mohammed bin Salman sangat jelas meraih kekuasaan yang sangat besar dengan sangat cepat, dan hal ini membuat rival-rivalnya khawatir," tulis laporan itu lagi, mengutip keterangan pakar politik lainnya.
Menurut Lacroix Pangeran Mohammad bin Salman tengah mempersiapkan diri untuk pertarungan memperebutkan kekuasaan pada saat ayahnya, Raja Salman, meninggal dunia.
"Ia tidak ingin nasibnya menjadi tidak jelas jika Mohammed bin Nayef, naik sebagai raja," tulis laporan itu lagi, kali ini mengutip keterangan seorang diplomat.
Menurut Lacroix tingkah laku Mohammed bin Salman, sudah seperti dirinya yang menjadi raja sehingga hal itu menimbulkan ketegangan di kalangan keluarga kerajaan.
Para diplomat dan pengamat politik melihat langkah pemecatan terhadap Saad al-Jabri sebagai menteri negara bulan September lalu merupakan bentuk persaingan yang tajam antara Salman dan Nayef, mengingat al-Jabri merupakan 'orang dekat' Mohammed bin Nayef. Namun untuk mendongkel Nayef dari posisinya juga tidak mudah. Selain masih mengendalikan pasukan Kementrian Dalam Negeri, ia juga cukup dihormati di dunia internasional daripada Mohammad bin Salman, karena keberhasilannya menangani masalah ekstremisme dan terorisme.
"Saya rasa mereka akan 'menembak kaki sendiri' jika mendongkel Mohammed bin Nayef. Ia sangat dihormati, yang dipercaya di kalangan negara-negara barat dalam hal konter-terorisme,� tambah Lacroix, seraya menambahkan bahwa Nayef juga didukung oleh sebagian besar keluarga kerajaan.
Laporan itu secara tersirat menuduh Mohammad bin Salman bertanggungjawab atas Tragedi Mina tanggal 24 September lalu yang menewaskan sekitar 2.000 jemaah haji. Mengingat bahwa penanggungjawab keamanan adalah Pasukan Departemen Dalam Negeri yang berada di bawah kekuasaan Nayef, tragedi itu bisa menjadi 'kartu mati' bagi Nayef.
"Jika sebuah faksi yang kuat telah siap untuk menjungkalkan Putra Mahkota (Nayef), yang pasukannya bertanggungjawab atas keamanan Haji, desak-desakan (Tragedi Mina) itu menjadi kesempatan. Mereka bisa menjadikannya kambing hitam jika ingin menjungkalkannya," tulis laporan itu lagi.
Namun, Mohammad bin Salman juga mempunyai 'kartu mati' lainnya, yaitu Perang Yaman yang dianggap menjadi 'kuburan' bagi Saudi Arabia.
"Bisa dikatakan bahwa perang ini (Yaman) dirancang untuk menaikkan citra Menteri Pertahanan. Namun perang ini, yang biayanya tidak pernah dibuka secara transparan, mengakibatkan pemerintah mengurangi belanjanya, menggerogoti tabungan negara dan memaksa pemerintah mengeluarkan surat hutang untuk membiayai defisit anggaran setelah harga-harga minyak anjolik lebih dari separo sejak awal tahun," kata Lacroix.
Sampai saat ini kondisi masih bisa dikendalikan. Namun dalam jangka panjang dipastikan hal ini tidak bisa lagi dibiarkan, dan akan ada yang harus dikorbankan.(ca)
TRAGEDI MINA AKIBAT PERSAINGAN KEKUASAAN KELUARGA KERAJAAN SAUDI?
Reviewed by mm
on
02:20:00
Rating: