RI Punya Cadangan 'Harta Karun' Nuklir
Ramah Lingkungan Selain uranium, ada jenis nuklir lain yang dapat dijadikan sumber energi, yaitu thorium. Limbah radio aktif yang dihasilkan oleh thorium lebih rendah dibandingkan uranium. Di Indonesia, diperkirakan terdapat cadangan thorium hingga 280.000 ton.
"Potensi thorium di Indonesia, kalau uranium 70.000 ton, thorium 3-4 kali lipatnya, 210.000-280.000 ton. Itu kisaran, belum sampai kita dalami," kata Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Djarot Sulistio Wisnubroto, dalam konferensi pers di Kantor BATAN, Jakarta, Kamis (4/2/2016).
Cadangan thorium sebanyak 280.000 ton tersebut tersebar di Pulau Bangka, Kalimantan Barat (Kalbar), Kalimantan Tengah (Kalteng), dan Sulawesi Barat (Sulbar). "Thorium ada di daerah dimana ditemukan unsur tanah jarang, ada di pasir monasit, biasanya ada di Vietnam, Semenanjung Malaysia, Bangka, Kalbar, Kalteng, dan di Mamuju Sulbar," ujar Djarot.
Namun cadangan ini masih belum dapat dihitung menjadi energi listrik. "Sulit untuk diukur berapa jika dikonversi menjadi listrik," dia menambahkan.
Saat ini belum ada satu pun negara di seluruh dunia yang sudah menggunakan thorium untuk pembangkit listrik, teknologinya masih dalam tahap penelitian. Thorium juga tak bisa berdiri sendiri sebagai bahan bakar, harus dicampur dengan uranium.
"Belum ada yang menerapkan PLTT (Pembangkit Listrik Tenaga Thorium) secara full. Thorium tidak bisa berdiri sendiri tanpa uranium. Dia butuh uranium sebagai inisiator. Tapi ini sudah diteliti dan masih diteliti banyak negara. Tantangannya bagaimana membuatnya siap menjadi bahan bakar," paparnya.
Thorium masih membutuhkan penelitian yang panjang, belum dapat segera digunakan. Tetapi thorium memang sumber energi yang prospektif untuk masa depan. Biaya listrik yang dihasilkannya diperkirakan hanya US$ 6-8 sen/kWh. Karena itu Indonesia harus mulai mengembangkannya.
"Listriknya kira-kira US$ 6-8 sen per kWh. Relatif lebih murah dibanding batubara. Ini sangat menjanjikan untuk masa depan. Indonesia harus melakukan penelitiannya dan itu tugas BATAN," tutupnya.Apa Kelebihannya Dibanding Uranium? Indonesia memiliki cadangan nuklir jenis thorium hingga 280.000 ton. Dibandingkan uranium, thorium memiliki beberapa kelebihan, terutama dari sisi dampak lingkungannya.
Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Djarot Sulistio Wisnubroto, mengungkapkan bahwa 90% bahan bakar thorium akan bereaksi menghasilkan listrik, sedangkan uranium hanya 3%-5%, sehingga limbah radio aktif yang dihasilkan thorium jauh lebih kecil.
"Limbahnya lebih sedikit dari uranium, tapi memang punya radio aktif. PLTN 1000 MW itu menghasilkan 300 meter kubik limbah radio aktif per tahun, 5% limbahnya usianya panjang. Kalau thorium yang limbahnya usianya panjang lebih rendah, kurang dari 5%, di bawah 300 meter kubik juga," kata Djarot dalam konferensi pers di Kantor BATAN, Jakarta, Kamis (4/2/2016).
Thorium juga tidak menghasilkan plutonium pada proses reaksi nuklirnya sehingga tidak dapat disalahgunakan untuk tujuan persenjataan. "Ini tidak bisa dimanfaatkan sebagai senjata. Lebih aman," ujarnya.
Selain itu, listrik yang dihasilkan thorium relatif murah, kurang lebih US$ 6-8 sen/kWh, sama dengan listrik dari PLTN berbahan bakar uranium. "US$ 6-8 sen per kWh. Relatif lebih murah dibanding batubara. Ini sangat menjanjikan untuk masa depan," tukas dia.
Pakar thorium dari International Atomic Energy Agency (IAEA), Matt Krauser, menambahkan bahwa cadangan thorium jauh lebih besar dibandingkan uranium, kurang lebih 3-4 kali lipat cadangan uranium di seluruh dunia. "Ketersediaannya lebih besar dari uranium, 3-4 kali lipat," ucapnya.
Thorium juga lebih stabil dibanding uranium, hanya saja penggunaannya lebih sulit. "Dari sisi sifat fisiknya jauh lebih bagus dari uranium. Titik leburnya lebih tinggi, memang lebih rumit pengolahannya, tapi lebih stabil sifatnya. Thorium bisa dimanfaatkan dalam waktu lebih panjang," tukas dia.
Biaya untuk pengembangan dan penggunaan thorium kurang lebih sama dengan uranium, tergantung pada teknologi yang digunakan. "Biayanya hampir sama dengan uranium, sekarang tergantung teknologi yang akan dipilih," tutupnya.RI Punya 280.000 Ton Thorium Indonesia kaya akan cadangan nuklir. Selain memiliki cadangan 70.000 ton uranium, Indonesia juga memiliki 210.000-280.000 ton thorium. Thorium yang tergolong nuklir ramah lingkungan merupakan salah satu sumber energi alternatif yang sedang dilirik Indonesia. Namun, ada sejumlah tantangan dalam mengembangkan thorium.
Pertama, thorium tidak dapat berdiri sendiri sebagai bahan bakar. Thorium membutuhkan uranium 235 agar dapat dikonversi menjadi uranium 232 dan siap digunakan sebagai sumber energi. Maka pengembangan thorium mau tak mau harus lebih dulu dimulai dengan pengembangan uranium.
"Dalam road map BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional), yang pertama kita gunakan uranium baru setelah itu thorium. Thorium itu tidak bisa langsung dibakar. Thorium harus dibakar dengan uranium 235, kemudian thorium berubah menjadi uranium 232. Jadi thorium itu harus dijadikan uranium dulu," papar Kepala BATAN, Djarot Sulistio Wisnubroto, dalam konferensi pers di Kantor BATAN, Jakarta, Kamis (4/2/2016).
Kedua, pemanfaatan thorium untuk energi masih membutuhkan waktu yang lama. Penelitian sudah dilakukan di berbagai negara, namun belum pernah ada negara yang secara penuh mengaplikasikan secara komersial.
"Masih butuh beberapa dekade sampai PLTN berbasis thorium dapat terwujud. "Butuh waktu untuk pengembangan thorium. Kita prioritaskan uranium, baru setelah itu thorium," ujar Djarot.
Ketiga, adalah kurangnya dana untuk penelitian dan pengembangan thorium. Untuk pendataan potensi thorium saja dibutuhkan Rp 3 miliar per tahun. Lalu untuk penelitiannya dari awal hingga akhir diperkirakan dibutuhkan dana US$ 299 juta atau Rp 3,9 triliun.
Meski begitu, penelitian dan pengembangan harus terus dilakukan karena thorium merupakan sumber energi masa depan yang sangat menjanjikan, hanya saja butuh waktu, komitmen, dan upaya keras.
"Indonesia harus melakukan penelitiannya dan itu tugas BATAN. Kendalanya adalah dana. Kita fokus mendata ada dimana saja thorium di Indonesia, butuh Rp 3 miliar per tahun untuk cari potensinya. Kemudian untuk penelitian sampai jadi biayanya mungkin US$ 299 juta," tutupnya.Pengembangan Thorium Butuh Rp 3,9 T Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) memperkirakan ada sekitar 210.000-280.000 ton thorium yang tersimpan di perut bumi Indonesia. Thorium merupakan salah satu jenis nuklir di samping uranium, namun limbah radio aktif yang dihasilkannya jauh lebih rendah dibanding uranium.
Tetapi thorium belum dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik dalam waktu dekat, masih butuh penelitian panjang untuk mengembangkannya hingga siap untuk digunakan.
Salah satu kendala yang dihadapi BATAN untuk penelitian dan pengembangannya adalah ketiadaan dana. Untuk pemetaan potensi thorium saja BATAN butuh Rp 3 miliar per tahun. Penelitian thorium hingga siap digunakan membutuhkan dana hingga US$ 299 juta atau Rp 3,9 triliun.
"Kita fokus mendata ada dimana saja thorium di Indonesia, butuh Rp 3 miliar per tahun untuk cari potensinya. Kemudian untuk penelitian sampai jadi biayanya mungkin US$ 299 juta," kata Kepala BATAN, Djarot Sulistio Wisnubroto, dalam konferensi pers di Kantor BATAN, Jakarta, Kamis (4/2/2016).
Saat ini, Djarot mencoba mencari pinjaman lunak melalui kerjasama antar pemerintah (Government to Government/G to G) untuk membiayai penelitian dan pengembangan thorium. Salah satu negara yang berminat membiayainya Rusia. "Yang bisa kita lakukan G to G, yang tertarik Rusia, pakai soft loan," ucapnya.
Dia menambahkan, pemanfaatan thorium untuk energi masih membutuhkan waktu yang lama hingga beberapa dekade ke depan. Penelitian sudah dilakukan di berbagai negara, namun belum pernah ada negara yang secara penuh mengaplikasikan secara komersial.
"Masih butuh beberapa dekade sampai PLTN berbasis thorium dapat terwujud. "Butuh waktu untuk pengembangan thorium. Kita prioritaskan uranium, baru setelah itu thorium," tutupnya.Belum Punya Teknologinya Indonesia kaya akan cadangan nuklir. Selain memiliki cadangan 70.000 ton uranium, Indonesia juga memiliki 210.000-280.000 ton thorium. Thorium yang tergolong 'nuklir ramah lingkungan' merupakan salah satu sumber energi alternatif yang sedang dilirik Indonesia.
Namun, pengembangan thorium terkendala beberapa hal, salah satunya adalah ketiadaan teknologi. Mengubah teori pemanfaatan thorium untuk energi menjadi sebuah kenyataan masih membutuhkan waktu yang lama. Belum ada satu pun negara yang berhasil secara penuh mengaplikasikan Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT) secara komersial.
"Masih butuh beberapa dekade sampai PLTN berbasis thorium dapat terwujud. Butuh waktu untuk pengembangan thorium," kata Kepala BATAN, Djarot Sulistio Wisnubroto, dalam konferensi pers di Kantor BATAN, Jakarta, Kamis (4/2/2016).
Djarot menuturkan, Amerika Serikat (AS) sebenarnya sudah mulai mengembangkan thorium pada 1965, namun program pengembangan thorium dihentikan. Pasalnya, AS lebih memilih uranium karena reaksi fisi uranium dapat menghasilkan plutonium yang dibutuhkan untuk pengembangan persenjataan berbahan baku nuklir.
Kemudian pada 1967 Jerman berinisiatif mengembangkan thorium dengan teknologi yang sama, diikuti oleh India. Belakangan China dan Jepang juga ikut mengembangkan thorium. Tapi sampai sekarang penelitian terhadap thorium masih berlangsung di berbagai negara, belum selesai.
"Yang harus dibangun adalah infrastruktur pendukung, termasuk bagaimana melakukan fabrikasi serta siklus daur bahan bakarnya. Tugas BATAN adalah meneliti, dan mengkaji kegiatan tersebut," paparnya.
Meski banyak tantangan, penelitian dan pengembangan harus terus dilakukan karena thorium merupakan sumber energi masa depan yang sangat menjanjikan, hanya saja butuh waktu, komitmen, dan upaya keras. "Indonesia harus melakukan penelitiannya dan itu tugas BATAN," pungkas Djarot.Rusia Tertarik Kembangkan Thorium di RI Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) memperkirakan ada sekitar 210.000-280.000 ton thorium yang tersimpan di perut bumi Indonesia. Thorium merupakan salah satu jenis nuklir di samping uranium, namun limbah radio aktif yang dihasilkannya jauh lebih rendah dibanding uranium.
Salah satu tantangan yang dihadapi BATAN untuk penelitian dan pengembangannya adalah ketiadaan dana. Untuk pemetaan potensi thorium saja BATAN butuh Rp 3 miliar per tahun. Penelitian thorium hingga siap digunakan membutuhkan dana hingga US$ 299 juta atau Rp 3,9 triliun.
Namun, Rusia rupanya tertarik untuk membiayai dan mengembangkan thorium di Indonesia melalui kerjasama antar pemerintah atau government to government (G to G).
"Yang bisa kita lakukan G to G, yang tertarik Rusia, pakai soft loan," ujar Kepala BATAN, Djarot Sulistio Wisnubroto, dalam konferensi pers di Kantor BATAN, Jakarta, Kamis (4/2/2016).
Dia menambahkan, pemanfaatan thorium untuk energi masih butuh waktu hingga beberapa dekade ke depan. Penelitian sudah dilakukan di berbagai negara, namun belum pernah ada negara yang secara penuh mengaplikasikan secara komersial.
"Masih butuh beberapa dekade sampai PLTN berbasis thorium dapat terwujud. "Butuh waktu untuk pengembangan thorium. Kita prioritaskan uranium, baru setelah itu thorium," tutupnya.Berbeda dengan Uranium, Thorium Tak Dapat Dikembangkan untuk Senjata Nuklir Selain uranium, sebenarnya ada jenis nuklir lain yang dapat dijadikan sumber energi, yaitu thorium. Berbeda dengan uranium, thorium tidak menghasilkan plutonium pada proses reaksi nuklirnya.
Alhasil, thorium tak dapat disalahgunakan untuk tujuan persenjataan, dan juga aman sebagai sumber energi.
"Ini tidak bisa dimanfaatkan sebagai senjata. Lebih aman," ujar Kepala BATAN, Djarot Sulistio Wisnubroto, dalam konferensi pers di Kantor BATAN, Jakarta, Kamis (4/2/2016).
Meski demikian, thorium tidak dapat berdiri sendiri sebagai bahan bakar. Thorium membutuhkan uranium 235 agar dapat dikonversi menjadi uranium 232 dan siap digunakan sebagai sumber energi. Maka pengembangan thorium mau tak mau harus lebih dulu dimulai dengan pengembangan uranium.
"Dalam roadmap BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional), yang pertama kita gunakan uranium baru setelah itu thorium. Thorium itu tidak bisa langsung dibakar. Thorium harus dibakar dengan uranium 235, kemudian thorium berubah menjadi uranium 232. Jadi thorium itu harus dijadikan uranium dulu," jelas Djarot.
Pengembangan thorium untuk bahan bakar pembangkit listrik sebenarnya sudah dimulai di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1965. AS memanfaatkan thorium dalam bentuk cair yang disebut Molten Salt Reactor (MSR). MSR telah beroperasi selama 20.000 jam (4 tahun) tanpa ada masalah.
Namun, program tersebut dihentikan oleh AS yang lebih memilih uranium karena reaksi fissinya dapat menghasilkan plutonium, yang dibutuhkan untuk pengembangan persenjataan berbahan baku nuklir.
Pemanfaatan thorium untuk energi masih membutuhkan waktu yang lama hingga beberapa dekade ke depan. Penelitian sudah dilakukan di berbagai negara, namun belum pernah ada negara yang secara penuh mengaplikasikan secara komersial.
"Masih butuh beberapa dekade sampai PLTN berbasis thorium dapat terwujud. Butuh waktu untuk pengembangan thorium. Kita prioritaskan uranium, baru setelah itu thorium," pungkasnya. (hns/hns)
"Potensi thorium di Indonesia, kalau uranium 70.000 ton, thorium 3-4 kali lipatnya, 210.000-280.000 ton. Itu kisaran, belum sampai kita dalami," kata Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Djarot Sulistio Wisnubroto, dalam konferensi pers di Kantor BATAN, Jakarta, Kamis (4/2/2016).
Cadangan thorium sebanyak 280.000 ton tersebut tersebar di Pulau Bangka, Kalimantan Barat (Kalbar), Kalimantan Tengah (Kalteng), dan Sulawesi Barat (Sulbar). "Thorium ada di daerah dimana ditemukan unsur tanah jarang, ada di pasir monasit, biasanya ada di Vietnam, Semenanjung Malaysia, Bangka, Kalbar, Kalteng, dan di Mamuju Sulbar," ujar Djarot.
Namun cadangan ini masih belum dapat dihitung menjadi energi listrik. "Sulit untuk diukur berapa jika dikonversi menjadi listrik," dia menambahkan.
Saat ini belum ada satu pun negara di seluruh dunia yang sudah menggunakan thorium untuk pembangkit listrik, teknologinya masih dalam tahap penelitian. Thorium juga tak bisa berdiri sendiri sebagai bahan bakar, harus dicampur dengan uranium.
"Belum ada yang menerapkan PLTT (Pembangkit Listrik Tenaga Thorium) secara full. Thorium tidak bisa berdiri sendiri tanpa uranium. Dia butuh uranium sebagai inisiator. Tapi ini sudah diteliti dan masih diteliti banyak negara. Tantangannya bagaimana membuatnya siap menjadi bahan bakar," paparnya.
Thorium masih membutuhkan penelitian yang panjang, belum dapat segera digunakan. Tetapi thorium memang sumber energi yang prospektif untuk masa depan. Biaya listrik yang dihasilkannya diperkirakan hanya US$ 6-8 sen/kWh. Karena itu Indonesia harus mulai mengembangkannya.
"Listriknya kira-kira US$ 6-8 sen per kWh. Relatif lebih murah dibanding batubara. Ini sangat menjanjikan untuk masa depan. Indonesia harus melakukan penelitiannya dan itu tugas BATAN," tutupnya.Apa Kelebihannya Dibanding Uranium? Indonesia memiliki cadangan nuklir jenis thorium hingga 280.000 ton. Dibandingkan uranium, thorium memiliki beberapa kelebihan, terutama dari sisi dampak lingkungannya.
Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Djarot Sulistio Wisnubroto, mengungkapkan bahwa 90% bahan bakar thorium akan bereaksi menghasilkan listrik, sedangkan uranium hanya 3%-5%, sehingga limbah radio aktif yang dihasilkan thorium jauh lebih kecil.
"Limbahnya lebih sedikit dari uranium, tapi memang punya radio aktif. PLTN 1000 MW itu menghasilkan 300 meter kubik limbah radio aktif per tahun, 5% limbahnya usianya panjang. Kalau thorium yang limbahnya usianya panjang lebih rendah, kurang dari 5%, di bawah 300 meter kubik juga," kata Djarot dalam konferensi pers di Kantor BATAN, Jakarta, Kamis (4/2/2016).
Thorium juga tidak menghasilkan plutonium pada proses reaksi nuklirnya sehingga tidak dapat disalahgunakan untuk tujuan persenjataan. "Ini tidak bisa dimanfaatkan sebagai senjata. Lebih aman," ujarnya.
Selain itu, listrik yang dihasilkan thorium relatif murah, kurang lebih US$ 6-8 sen/kWh, sama dengan listrik dari PLTN berbahan bakar uranium. "US$ 6-8 sen per kWh. Relatif lebih murah dibanding batubara. Ini sangat menjanjikan untuk masa depan," tukas dia.
Pakar thorium dari International Atomic Energy Agency (IAEA), Matt Krauser, menambahkan bahwa cadangan thorium jauh lebih besar dibandingkan uranium, kurang lebih 3-4 kali lipat cadangan uranium di seluruh dunia. "Ketersediaannya lebih besar dari uranium, 3-4 kali lipat," ucapnya.
Thorium juga lebih stabil dibanding uranium, hanya saja penggunaannya lebih sulit. "Dari sisi sifat fisiknya jauh lebih bagus dari uranium. Titik leburnya lebih tinggi, memang lebih rumit pengolahannya, tapi lebih stabil sifatnya. Thorium bisa dimanfaatkan dalam waktu lebih panjang," tukas dia.
Biaya untuk pengembangan dan penggunaan thorium kurang lebih sama dengan uranium, tergantung pada teknologi yang digunakan. "Biayanya hampir sama dengan uranium, sekarang tergantung teknologi yang akan dipilih," tutupnya.RI Punya 280.000 Ton Thorium Indonesia kaya akan cadangan nuklir. Selain memiliki cadangan 70.000 ton uranium, Indonesia juga memiliki 210.000-280.000 ton thorium. Thorium yang tergolong nuklir ramah lingkungan merupakan salah satu sumber energi alternatif yang sedang dilirik Indonesia. Namun, ada sejumlah tantangan dalam mengembangkan thorium.
Pertama, thorium tidak dapat berdiri sendiri sebagai bahan bakar. Thorium membutuhkan uranium 235 agar dapat dikonversi menjadi uranium 232 dan siap digunakan sebagai sumber energi. Maka pengembangan thorium mau tak mau harus lebih dulu dimulai dengan pengembangan uranium.
"Dalam road map BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional), yang pertama kita gunakan uranium baru setelah itu thorium. Thorium itu tidak bisa langsung dibakar. Thorium harus dibakar dengan uranium 235, kemudian thorium berubah menjadi uranium 232. Jadi thorium itu harus dijadikan uranium dulu," papar Kepala BATAN, Djarot Sulistio Wisnubroto, dalam konferensi pers di Kantor BATAN, Jakarta, Kamis (4/2/2016).
Kedua, pemanfaatan thorium untuk energi masih membutuhkan waktu yang lama. Penelitian sudah dilakukan di berbagai negara, namun belum pernah ada negara yang secara penuh mengaplikasikan secara komersial.
"Masih butuh beberapa dekade sampai PLTN berbasis thorium dapat terwujud. "Butuh waktu untuk pengembangan thorium. Kita prioritaskan uranium, baru setelah itu thorium," ujar Djarot.
Ketiga, adalah kurangnya dana untuk penelitian dan pengembangan thorium. Untuk pendataan potensi thorium saja dibutuhkan Rp 3 miliar per tahun. Lalu untuk penelitiannya dari awal hingga akhir diperkirakan dibutuhkan dana US$ 299 juta atau Rp 3,9 triliun.
Meski begitu, penelitian dan pengembangan harus terus dilakukan karena thorium merupakan sumber energi masa depan yang sangat menjanjikan, hanya saja butuh waktu, komitmen, dan upaya keras.
"Indonesia harus melakukan penelitiannya dan itu tugas BATAN. Kendalanya adalah dana. Kita fokus mendata ada dimana saja thorium di Indonesia, butuh Rp 3 miliar per tahun untuk cari potensinya. Kemudian untuk penelitian sampai jadi biayanya mungkin US$ 299 juta," tutupnya.Pengembangan Thorium Butuh Rp 3,9 T Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) memperkirakan ada sekitar 210.000-280.000 ton thorium yang tersimpan di perut bumi Indonesia. Thorium merupakan salah satu jenis nuklir di samping uranium, namun limbah radio aktif yang dihasilkannya jauh lebih rendah dibanding uranium.
Tetapi thorium belum dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik dalam waktu dekat, masih butuh penelitian panjang untuk mengembangkannya hingga siap untuk digunakan.
Salah satu kendala yang dihadapi BATAN untuk penelitian dan pengembangannya adalah ketiadaan dana. Untuk pemetaan potensi thorium saja BATAN butuh Rp 3 miliar per tahun. Penelitian thorium hingga siap digunakan membutuhkan dana hingga US$ 299 juta atau Rp 3,9 triliun.
"Kita fokus mendata ada dimana saja thorium di Indonesia, butuh Rp 3 miliar per tahun untuk cari potensinya. Kemudian untuk penelitian sampai jadi biayanya mungkin US$ 299 juta," kata Kepala BATAN, Djarot Sulistio Wisnubroto, dalam konferensi pers di Kantor BATAN, Jakarta, Kamis (4/2/2016).
Saat ini, Djarot mencoba mencari pinjaman lunak melalui kerjasama antar pemerintah (Government to Government/G to G) untuk membiayai penelitian dan pengembangan thorium. Salah satu negara yang berminat membiayainya Rusia. "Yang bisa kita lakukan G to G, yang tertarik Rusia, pakai soft loan," ucapnya.
Dia menambahkan, pemanfaatan thorium untuk energi masih membutuhkan waktu yang lama hingga beberapa dekade ke depan. Penelitian sudah dilakukan di berbagai negara, namun belum pernah ada negara yang secara penuh mengaplikasikan secara komersial.
"Masih butuh beberapa dekade sampai PLTN berbasis thorium dapat terwujud. "Butuh waktu untuk pengembangan thorium. Kita prioritaskan uranium, baru setelah itu thorium," tutupnya.Belum Punya Teknologinya Indonesia kaya akan cadangan nuklir. Selain memiliki cadangan 70.000 ton uranium, Indonesia juga memiliki 210.000-280.000 ton thorium. Thorium yang tergolong 'nuklir ramah lingkungan' merupakan salah satu sumber energi alternatif yang sedang dilirik Indonesia.
Namun, pengembangan thorium terkendala beberapa hal, salah satunya adalah ketiadaan teknologi. Mengubah teori pemanfaatan thorium untuk energi menjadi sebuah kenyataan masih membutuhkan waktu yang lama. Belum ada satu pun negara yang berhasil secara penuh mengaplikasikan Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT) secara komersial.
"Masih butuh beberapa dekade sampai PLTN berbasis thorium dapat terwujud. Butuh waktu untuk pengembangan thorium," kata Kepala BATAN, Djarot Sulistio Wisnubroto, dalam konferensi pers di Kantor BATAN, Jakarta, Kamis (4/2/2016).
Djarot menuturkan, Amerika Serikat (AS) sebenarnya sudah mulai mengembangkan thorium pada 1965, namun program pengembangan thorium dihentikan. Pasalnya, AS lebih memilih uranium karena reaksi fisi uranium dapat menghasilkan plutonium yang dibutuhkan untuk pengembangan persenjataan berbahan baku nuklir.
Kemudian pada 1967 Jerman berinisiatif mengembangkan thorium dengan teknologi yang sama, diikuti oleh India. Belakangan China dan Jepang juga ikut mengembangkan thorium. Tapi sampai sekarang penelitian terhadap thorium masih berlangsung di berbagai negara, belum selesai.
"Yang harus dibangun adalah infrastruktur pendukung, termasuk bagaimana melakukan fabrikasi serta siklus daur bahan bakarnya. Tugas BATAN adalah meneliti, dan mengkaji kegiatan tersebut," paparnya.
Meski banyak tantangan, penelitian dan pengembangan harus terus dilakukan karena thorium merupakan sumber energi masa depan yang sangat menjanjikan, hanya saja butuh waktu, komitmen, dan upaya keras. "Indonesia harus melakukan penelitiannya dan itu tugas BATAN," pungkas Djarot.Rusia Tertarik Kembangkan Thorium di RI Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) memperkirakan ada sekitar 210.000-280.000 ton thorium yang tersimpan di perut bumi Indonesia. Thorium merupakan salah satu jenis nuklir di samping uranium, namun limbah radio aktif yang dihasilkannya jauh lebih rendah dibanding uranium.
Salah satu tantangan yang dihadapi BATAN untuk penelitian dan pengembangannya adalah ketiadaan dana. Untuk pemetaan potensi thorium saja BATAN butuh Rp 3 miliar per tahun. Penelitian thorium hingga siap digunakan membutuhkan dana hingga US$ 299 juta atau Rp 3,9 triliun.
Namun, Rusia rupanya tertarik untuk membiayai dan mengembangkan thorium di Indonesia melalui kerjasama antar pemerintah atau government to government (G to G).
"Yang bisa kita lakukan G to G, yang tertarik Rusia, pakai soft loan," ujar Kepala BATAN, Djarot Sulistio Wisnubroto, dalam konferensi pers di Kantor BATAN, Jakarta, Kamis (4/2/2016).
Dia menambahkan, pemanfaatan thorium untuk energi masih butuh waktu hingga beberapa dekade ke depan. Penelitian sudah dilakukan di berbagai negara, namun belum pernah ada negara yang secara penuh mengaplikasikan secara komersial.
"Masih butuh beberapa dekade sampai PLTN berbasis thorium dapat terwujud. "Butuh waktu untuk pengembangan thorium. Kita prioritaskan uranium, baru setelah itu thorium," tutupnya.Berbeda dengan Uranium, Thorium Tak Dapat Dikembangkan untuk Senjata Nuklir Selain uranium, sebenarnya ada jenis nuklir lain yang dapat dijadikan sumber energi, yaitu thorium. Berbeda dengan uranium, thorium tidak menghasilkan plutonium pada proses reaksi nuklirnya.
Alhasil, thorium tak dapat disalahgunakan untuk tujuan persenjataan, dan juga aman sebagai sumber energi.
"Ini tidak bisa dimanfaatkan sebagai senjata. Lebih aman," ujar Kepala BATAN, Djarot Sulistio Wisnubroto, dalam konferensi pers di Kantor BATAN, Jakarta, Kamis (4/2/2016).
Meski demikian, thorium tidak dapat berdiri sendiri sebagai bahan bakar. Thorium membutuhkan uranium 235 agar dapat dikonversi menjadi uranium 232 dan siap digunakan sebagai sumber energi. Maka pengembangan thorium mau tak mau harus lebih dulu dimulai dengan pengembangan uranium.
"Dalam roadmap BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional), yang pertama kita gunakan uranium baru setelah itu thorium. Thorium itu tidak bisa langsung dibakar. Thorium harus dibakar dengan uranium 235, kemudian thorium berubah menjadi uranium 232. Jadi thorium itu harus dijadikan uranium dulu," jelas Djarot.
Pengembangan thorium untuk bahan bakar pembangkit listrik sebenarnya sudah dimulai di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1965. AS memanfaatkan thorium dalam bentuk cair yang disebut Molten Salt Reactor (MSR). MSR telah beroperasi selama 20.000 jam (4 tahun) tanpa ada masalah.
Namun, program tersebut dihentikan oleh AS yang lebih memilih uranium karena reaksi fissinya dapat menghasilkan plutonium, yang dibutuhkan untuk pengembangan persenjataan berbahan baku nuklir.
Pemanfaatan thorium untuk energi masih membutuhkan waktu yang lama hingga beberapa dekade ke depan. Penelitian sudah dilakukan di berbagai negara, namun belum pernah ada negara yang secara penuh mengaplikasikan secara komersial.
"Masih butuh beberapa dekade sampai PLTN berbasis thorium dapat terwujud. Butuh waktu untuk pengembangan thorium. Kita prioritaskan uranium, baru setelah itu thorium," pungkasnya. (hns/hns)
RI Punya Cadangan 'Harta Karun' Nuklir
Reviewed by mm
on
09:00:00
Rating: