Pelajaran dari Brazil (2)
Indonesian Free Press -- Perang kepentingan internasional melawan kepentingan nasional yang korup. Inilah yang tengah terjadi di Brazil.
Tulisan pertama tentang konflik yang tengah berlangsung di Brazil telah memaparkan bagaimana regim neoliberalisme internasional menginginkan perubahan kekuasaan di Brazil, dari kelompok 'kiri' (sosialis) ke kelompok 'kanan'. Karena itu tokoh partai penguasa Worker's Party dan mantan Presiden Lula Da Silva, diperlakukan semena-mena. Tujuannya adalah menjatuhkan regim penguasa yang saat ini dipimpin 'murid' Da Silva, Dilma Rousseff.
Paska penangkapan Da Silva dan ancaman serius yang dihadapi regim Dilma Rousseff, mantan aktifis komunis dan narapidana karena berbagai kasus kriminal, ini melakukan perlawanan. Secara diam-diam pada hari Rabu (16 Maret) Rousseff mengangkat Da Silva sebagai menteri senior. Langkah ini dipastikan untuk 'mengamankan' Da Silva dari penyidikan yang dilakukan Kejaksaan Agung.
Dalam undang-undang Brazil, seorang menteri hanya bisa diadili oleh pengadilan khusus Mahkamah Agung yang oleh kalangan oposisi dianggap terlalu lama prosesnya. Maka, Kejaksaan Agung, yang dalam kasus ini memainkan kepentingan neoliberalisme internasional sebagaimana KPK dalam kasus Anas Urbaningrum, atau Polri dalam kasus Antasari Azhar, melakukan langkah tandingan.
Pada hari yang sama, Kejaksaan Agung secara kontroversial membocorkan rekaman pembicaraan antara Dilma Rousseff dengan Lula da Silva tentang pengangkatan da Silva sebagai menteri senior. Rekaman tersebut dengan sangat cepat diikuti oleh aksi demonstrasi besar-besaran yang melanda berbagai kota besar di Brazil, menuntut pengunduran diri Rousseff.
Tidak ada mobilisasi massa sedemikian cepat dan sedemikian massif, kecuali dilakukan oleh kekuatan internasional yang telah menguasai berbagai sendi masyarakat Brazil. Penguasa sendiri akan kesulitan untuk melakukan hal seperti ini.
Seperti dilaporkan The Guardian, Kamis (17 Maret), demonstrasi besar-besaran menentang regim penguasa terjadi hari Rabu petang di Sao Paulo, Bras�lia, Belo Horizonte dan kota-kota besar lainnya, menyusul beredarnya rekaman pembicaraan Presiden Rousseff dan Lula Da Silva.
Pada tanggal 4 Maret lalu Da Silva ditangkap di rumahnya di pagi hari oleh polisi bersenjata lengkap. Bersama istrinya ia kemudian dibawa ke bandara untuk diinterogasi selama sembilan jam. Perlakuan ini dianggap sangat tidak manusiawi, mengingat Da Silva adalah mantan presiden yang dihormati tidak saja di negaranya, juga di masyarakat internasional.
Ketika dilepaskan, kepada para pendukung yang menyambutnya, sambil menangis Lula mengatakana dirinya telah diculik bersama istrinya Marisa Let�cia, serta anak laki-lakinya F�bio Luiz. Padahal ia mengaku telah beberapa kali menawarkan diri untuk dimintai keterangan.
Pada hari yang sama ia juga mengadukan perlakuannya itu kepada Presiden Rousseff melalui telepon, yang ternyata juga disadap oleh Kejaksaan Agung. Ia menyebut tindakan para jaksa itu sebagai 'pertunjukan yang tidak pernah terjadi sebelumnya'.
Lula menuduh 'para jaksa berfikir bahwa dengan dukungan media massa akan bisa membentuk negara baru'. Ia juga menyebut, di bawah ancaman, para hakim dan anggota parlemen telah menjadi orang-orang pengecut dan mandul.
"Dan semua orang berfikir bahwa beberapa keajaiban akan terjadi," kata Lula pada Rousseff.
Jaksa Sergio Moro, yang mengetuai penyidikan kasus korupsi yang melibatkan Da Silva, merilis hampir 50 rekaman kepada media massa pada hari Rabu petang. Di bawah kritikan tajam atas tindakannya itu, ia mengatakan, "Demokrasi adalah masyarakat bebas yang menginginkan rakyat mengetahui semua yang dilakukan pemerintah, bahkan jika pemerintah ingin menyembunyikannya."
Saat ini masyarakat Brazil telah terpecah menjadi dua blok. Kubu oposisi dikabarkan akan menggelar aksi-aksi demonstrasi anti pemerintah di 17 negara bagian. Di kota Curitiba yang merupakan asal Jaksa Moro, ratusan orang berkumpul di depan pengadilan untuk mendukung Moro. Namun pendukung pemerintah juga telah merancang aksi-aksi tandingan, dimulai hari Jumat kemarin.
Selama dua dekade terakhir dunia menyaksikan munculnya kekuatan kelompok-kelompok 'kiri' di panggung kekuasaan di Amerika Selatan. Ada Hugo Chavez yang berkuasa di Venezuela, diikuti oleh penggantinya Maduro. Ada Morales yang berkuasa di Bolivia. Ada Fernandez yang berkuasa di Argentina, dan Lula da Silva serta Dilma Rousseff di Brazil.
Namun, akhir-akhir ini dunia menyaksikan fenomena tumbangnya tokoh-tokoh 'kiri' tersebut. Fernandes telah tumbang, Maduro terancam dipecat oleh parlemen yang dikuasai oposisi, juga Morales yang gagal mendapatkan hak untuk memperpanjang kekuasaananya. Dan kini, kekuatan kapitalis internasional menghendaki tumbangnya Rousseff.(ca)
Tulisan pertama tentang konflik yang tengah berlangsung di Brazil telah memaparkan bagaimana regim neoliberalisme internasional menginginkan perubahan kekuasaan di Brazil, dari kelompok 'kiri' (sosialis) ke kelompok 'kanan'. Karena itu tokoh partai penguasa Worker's Party dan mantan Presiden Lula Da Silva, diperlakukan semena-mena. Tujuannya adalah menjatuhkan regim penguasa yang saat ini dipimpin 'murid' Da Silva, Dilma Rousseff.
Paska penangkapan Da Silva dan ancaman serius yang dihadapi regim Dilma Rousseff, mantan aktifis komunis dan narapidana karena berbagai kasus kriminal, ini melakukan perlawanan. Secara diam-diam pada hari Rabu (16 Maret) Rousseff mengangkat Da Silva sebagai menteri senior. Langkah ini dipastikan untuk 'mengamankan' Da Silva dari penyidikan yang dilakukan Kejaksaan Agung.
Dalam undang-undang Brazil, seorang menteri hanya bisa diadili oleh pengadilan khusus Mahkamah Agung yang oleh kalangan oposisi dianggap terlalu lama prosesnya. Maka, Kejaksaan Agung, yang dalam kasus ini memainkan kepentingan neoliberalisme internasional sebagaimana KPK dalam kasus Anas Urbaningrum, atau Polri dalam kasus Antasari Azhar, melakukan langkah tandingan.
Pada hari yang sama, Kejaksaan Agung secara kontroversial membocorkan rekaman pembicaraan antara Dilma Rousseff dengan Lula da Silva tentang pengangkatan da Silva sebagai menteri senior. Rekaman tersebut dengan sangat cepat diikuti oleh aksi demonstrasi besar-besaran yang melanda berbagai kota besar di Brazil, menuntut pengunduran diri Rousseff.
Tidak ada mobilisasi massa sedemikian cepat dan sedemikian massif, kecuali dilakukan oleh kekuatan internasional yang telah menguasai berbagai sendi masyarakat Brazil. Penguasa sendiri akan kesulitan untuk melakukan hal seperti ini.
Seperti dilaporkan The Guardian, Kamis (17 Maret), demonstrasi besar-besaran menentang regim penguasa terjadi hari Rabu petang di Sao Paulo, Bras�lia, Belo Horizonte dan kota-kota besar lainnya, menyusul beredarnya rekaman pembicaraan Presiden Rousseff dan Lula Da Silva.
Pada tanggal 4 Maret lalu Da Silva ditangkap di rumahnya di pagi hari oleh polisi bersenjata lengkap. Bersama istrinya ia kemudian dibawa ke bandara untuk diinterogasi selama sembilan jam. Perlakuan ini dianggap sangat tidak manusiawi, mengingat Da Silva adalah mantan presiden yang dihormati tidak saja di negaranya, juga di masyarakat internasional.
Ketika dilepaskan, kepada para pendukung yang menyambutnya, sambil menangis Lula mengatakana dirinya telah diculik bersama istrinya Marisa Let�cia, serta anak laki-lakinya F�bio Luiz. Padahal ia mengaku telah beberapa kali menawarkan diri untuk dimintai keterangan.
Pada hari yang sama ia juga mengadukan perlakuannya itu kepada Presiden Rousseff melalui telepon, yang ternyata juga disadap oleh Kejaksaan Agung. Ia menyebut tindakan para jaksa itu sebagai 'pertunjukan yang tidak pernah terjadi sebelumnya'.
Lula menuduh 'para jaksa berfikir bahwa dengan dukungan media massa akan bisa membentuk negara baru'. Ia juga menyebut, di bawah ancaman, para hakim dan anggota parlemen telah menjadi orang-orang pengecut dan mandul.
"Dan semua orang berfikir bahwa beberapa keajaiban akan terjadi," kata Lula pada Rousseff.
Jaksa Sergio Moro, yang mengetuai penyidikan kasus korupsi yang melibatkan Da Silva, merilis hampir 50 rekaman kepada media massa pada hari Rabu petang. Di bawah kritikan tajam atas tindakannya itu, ia mengatakan, "Demokrasi adalah masyarakat bebas yang menginginkan rakyat mengetahui semua yang dilakukan pemerintah, bahkan jika pemerintah ingin menyembunyikannya."
Saat ini masyarakat Brazil telah terpecah menjadi dua blok. Kubu oposisi dikabarkan akan menggelar aksi-aksi demonstrasi anti pemerintah di 17 negara bagian. Di kota Curitiba yang merupakan asal Jaksa Moro, ratusan orang berkumpul di depan pengadilan untuk mendukung Moro. Namun pendukung pemerintah juga telah merancang aksi-aksi tandingan, dimulai hari Jumat kemarin.
Selama dua dekade terakhir dunia menyaksikan munculnya kekuatan kelompok-kelompok 'kiri' di panggung kekuasaan di Amerika Selatan. Ada Hugo Chavez yang berkuasa di Venezuela, diikuti oleh penggantinya Maduro. Ada Morales yang berkuasa di Bolivia. Ada Fernandez yang berkuasa di Argentina, dan Lula da Silva serta Dilma Rousseff di Brazil.
Namun, akhir-akhir ini dunia menyaksikan fenomena tumbangnya tokoh-tokoh 'kiri' tersebut. Fernandes telah tumbang, Maduro terancam dipecat oleh parlemen yang dikuasai oposisi, juga Morales yang gagal mendapatkan hak untuk memperpanjang kekuasaananya. Dan kini, kekuatan kapitalis internasional menghendaki tumbangnya Rousseff.(ca)
Pelajaran dari Brazil (2)
Reviewed by mm
on
21:46:00
Rating: