Saatnya Mengatakan 'Selamat Tinggal Erdogan'
Indonesian Free Press -- Satu-satunya teman bagi regim Turki Tayyep Erdogan saat ini mungkin adalah Israel dan Saudi Arabia.
Belum lama berselang regim Erdogan, dengan menelan ludah sendiri, mengakui bahwa 'Israel adalah teman' dan 'Turki membutuhkan Israel'. Ini terjadi pada saat masalah pembunuhan 10 warga Turki oleh pasukan Israel dalam insiden kapal Mavi Marmara tahun 2010 belum diselesaikan. Erdogan kini juga tengah membangun koalisi dengan Saudi Arabia untuk menyerang Suriah.
Pada saat yang hampir sama, regim Erdogan justru membangun permusuhan dengan semuanya, termasuk sekutu dan 'patron'nyanya, Amerika. Keduanya terlibat perselisihan tentang status kelompok Kurdi, yang oleh Amerika dianggap sebagai sekutu sementara Turki menanggapnya sebagai teroris.
Ini belum termasuk permusuhan regim Erdogan dengan Rusia, yang sewaktu-waktu bisa meledak menjadi konflik bersenjata, setelah Turki menembak jatuh pesawat tempur Rusia di Suriah bulan November 2015 lalu.
Dan seolah kata-kata bijak 'satu musuh terlalu banyak' tidak berlaku bagi Erdogan, regim ini terus membangun permusuhan dengan semua kelompok dan golongan: orang-orang Kurdi, wartawan, akademisi, polisi, jaksa, tentara, para pengikut gerakan Fethullah Gulen, pengadilan dan yang baru-baru ini adalah pemain sepakbola legendaris Hakan Sukur.
Pada bulan Oktober 2015 lalu regim Erdogan merampas Koza Ipek Holding, group perusahaan milik konglomerat Rethullah Gulen, termasuk jaringan media massa miliknya seperti koran 'Bugun' dan televisi 'Kanalturk'. Hal itu berdasarkan tuduhan pelanggaran aturan keuangan, meski semua orang di Turki mengetahui pasti perampasan itu bermotif politik karena Erdogan memusuhi Gulen.
Dalam perkembangan lain, pada hari Selasa (1 Maret), Ketua Mahkamah Konstitusi Zuhtu Arslan, terlibat perselisihan dengan Erdogan, setelah Erdogan mengecam keputusan lembaga itu membebaskan dua orang wartawan yang ditahan karena tuduhan 'mata-mata' karena laporan jurnalistiknya.
Erdogan, melecehkan lembaga peradilan yang dihormati di semua negara demokratis, pada hari Minggu (28 Februari), mengatakan dirinya 'tidak menghormati dan tidak mengakui' Mahkamah Konstitusi yang telah membebaskan Can Dundar, pimpinan redaksi harian milik oposisi 'Cumhuriyet', dan kepala biro media ini di Ankara, Erdem Gul.
Pada bulan Mei 2015 'Cumhuriyet' membuat laporan tentang penggeledahan konvoi bantuan kemanusiaan untuk Suriah yang ternyata berisi peralatan militer untuk pemberontak Suriah. Penggeledahan dilakukan oleh tentara perbatasan Turki, dan pengiriman senjata ilegal itu dilakukan oleh dinas inteligen Turki (MIT). Setelah insiden itu komandan militer yang memimpin penggedahan dipecat, dan 'Cumhuriyet' dituduh membocorkan rahasia negara, pengkhianatan dan melakukan propaganda terorisme. Can Dundar dan Erden Gul pun ditahan sejak November 2015.
"Keputusan-keputusan yang diambil oleh pengadilan ini mengikat semua orang dan semua institusi. Kami melakukan tugas kami dan kami tidak melihat siapa yang mengaplikasikannya. Kami tidak berpihak pada siapapun untuk melawan siapapun," kata Arslan kepada wartawan perihal keputusan yang membuat marah Erdogan.
Sejak berbulan-bulan yang lalu blog ini dengan tegas mengatakan bahwa masa depan Erdogan adalah penjara. Kejahatan-kejahatan Erdogan sudah melewati batas sehingga telah dianggap sebagai 'sampah' peradaban yang tidak mungkin ditanggung oleh bangsa Turki dan seluruh bangsa-bangsa di dunia.
Selain itu, setiap konflik membutuhkan 'kambing hitam' untuk dikorbankan sebelum tercapainya perdamaian dan terbentuk 'tatanan baru'. Dan kandidat paling sempurna bagi 'kambing hitam' konflik Suriah adalah Erdogan.
Pada tahun 1990 pemerintah Amerika melalui Dubes Amerika di Irak, April Glaspie, memprovokasi Saddam Hussein untuk menyerang Kuwait demi ambisi Amerika untuk menguasai minyak Irak setelah Saddam Hussein ditumbangkan oleh pasukan koalisi internasional. Sayangnya, Saddam Hussein yang terlalu percaya pada sekutunya, Amerika, mengikuti saran itu sehingga hidupnya berakhir di tiang gantungan dan minyak dan seluruh harta kekayaan Irak pun dijarah Amerika.
Lalu, mengapa kita tidak percaya kalau Erdogan, yang juga sekutu dekat Amerika, bisa mengalami nasib yang sama?(ca)
Bersambung ..........
Belum lama berselang regim Erdogan, dengan menelan ludah sendiri, mengakui bahwa 'Israel adalah teman' dan 'Turki membutuhkan Israel'. Ini terjadi pada saat masalah pembunuhan 10 warga Turki oleh pasukan Israel dalam insiden kapal Mavi Marmara tahun 2010 belum diselesaikan. Erdogan kini juga tengah membangun koalisi dengan Saudi Arabia untuk menyerang Suriah.
Pada saat yang hampir sama, regim Erdogan justru membangun permusuhan dengan semuanya, termasuk sekutu dan 'patron'nyanya, Amerika. Keduanya terlibat perselisihan tentang status kelompok Kurdi, yang oleh Amerika dianggap sebagai sekutu sementara Turki menanggapnya sebagai teroris.
Ini belum termasuk permusuhan regim Erdogan dengan Rusia, yang sewaktu-waktu bisa meledak menjadi konflik bersenjata, setelah Turki menembak jatuh pesawat tempur Rusia di Suriah bulan November 2015 lalu.
Dan seolah kata-kata bijak 'satu musuh terlalu banyak' tidak berlaku bagi Erdogan, regim ini terus membangun permusuhan dengan semua kelompok dan golongan: orang-orang Kurdi, wartawan, akademisi, polisi, jaksa, tentara, para pengikut gerakan Fethullah Gulen, pengadilan dan yang baru-baru ini adalah pemain sepakbola legendaris Hakan Sukur.
Pada bulan Oktober 2015 lalu regim Erdogan merampas Koza Ipek Holding, group perusahaan milik konglomerat Rethullah Gulen, termasuk jaringan media massa miliknya seperti koran 'Bugun' dan televisi 'Kanalturk'. Hal itu berdasarkan tuduhan pelanggaran aturan keuangan, meski semua orang di Turki mengetahui pasti perampasan itu bermotif politik karena Erdogan memusuhi Gulen.
Dalam perkembangan lain, pada hari Selasa (1 Maret), Ketua Mahkamah Konstitusi Zuhtu Arslan, terlibat perselisihan dengan Erdogan, setelah Erdogan mengecam keputusan lembaga itu membebaskan dua orang wartawan yang ditahan karena tuduhan 'mata-mata' karena laporan jurnalistiknya.
Erdogan, melecehkan lembaga peradilan yang dihormati di semua negara demokratis, pada hari Minggu (28 Februari), mengatakan dirinya 'tidak menghormati dan tidak mengakui' Mahkamah Konstitusi yang telah membebaskan Can Dundar, pimpinan redaksi harian milik oposisi 'Cumhuriyet', dan kepala biro media ini di Ankara, Erdem Gul.
Pada bulan Mei 2015 'Cumhuriyet' membuat laporan tentang penggeledahan konvoi bantuan kemanusiaan untuk Suriah yang ternyata berisi peralatan militer untuk pemberontak Suriah. Penggeledahan dilakukan oleh tentara perbatasan Turki, dan pengiriman senjata ilegal itu dilakukan oleh dinas inteligen Turki (MIT). Setelah insiden itu komandan militer yang memimpin penggedahan dipecat, dan 'Cumhuriyet' dituduh membocorkan rahasia negara, pengkhianatan dan melakukan propaganda terorisme. Can Dundar dan Erden Gul pun ditahan sejak November 2015.
"Keputusan-keputusan yang diambil oleh pengadilan ini mengikat semua orang dan semua institusi. Kami melakukan tugas kami dan kami tidak melihat siapa yang mengaplikasikannya. Kami tidak berpihak pada siapapun untuk melawan siapapun," kata Arslan kepada wartawan perihal keputusan yang membuat marah Erdogan.
Sejak berbulan-bulan yang lalu blog ini dengan tegas mengatakan bahwa masa depan Erdogan adalah penjara. Kejahatan-kejahatan Erdogan sudah melewati batas sehingga telah dianggap sebagai 'sampah' peradaban yang tidak mungkin ditanggung oleh bangsa Turki dan seluruh bangsa-bangsa di dunia.
Selain itu, setiap konflik membutuhkan 'kambing hitam' untuk dikorbankan sebelum tercapainya perdamaian dan terbentuk 'tatanan baru'. Dan kandidat paling sempurna bagi 'kambing hitam' konflik Suriah adalah Erdogan.
Pada tahun 1990 pemerintah Amerika melalui Dubes Amerika di Irak, April Glaspie, memprovokasi Saddam Hussein untuk menyerang Kuwait demi ambisi Amerika untuk menguasai minyak Irak setelah Saddam Hussein ditumbangkan oleh pasukan koalisi internasional. Sayangnya, Saddam Hussein yang terlalu percaya pada sekutunya, Amerika, mengikuti saran itu sehingga hidupnya berakhir di tiang gantungan dan minyak dan seluruh harta kekayaan Irak pun dijarah Amerika.
Lalu, mengapa kita tidak percaya kalau Erdogan, yang juga sekutu dekat Amerika, bisa mengalami nasib yang sama?(ca)
Bersambung ..........
Saatnya Mengatakan 'Selamat Tinggal Erdogan'
Reviewed by mm
on
03:26:00
Rating: